Tak seindah daun

25/12/08
Hanya air mata mengalir kawanku kali ini...
Ku kira ku telah ikhlas Namun ternyata aku masih belum bisa beranjak
Kota begitu ramai akan lilin dan hias lampu warna-warni
Tapi tak menyentuh sebentuk hati yang masih merindu

Kemarin kulihat bayang indah di sebuah papan tulis
Bayang daun berguguran nan gemulai menari dengan angin
Sejenak kuterpesona dan berdecak
Lalu kusandingkan dengan kondisi hariku

Aku tak pelak bagai daun kering
Jatuh tertiup angin sebab rapuhku tak mampu berpegang
Aku tak mampu bersaing dengan daun lain yang masih segar
Ditambah angin yang begitu lembut menggoda

Namun sayang...aku tak mampu menari seindah daun
Berputar-putar di udara menikmati daya tarik bumi
Aku terhempas jatuh ke tanah terdorong ke lubang penantian
Tak ada decakan kagum akan kejatuhanku dari siapapun!

Hampir tiba setahun saat itu
Saat bunga masih bermekaran di sekitar tiga gambar hati jingga
Hampir tiba waktu di mana kenangan itu akan teringat sempurna
Sekali lagi sayang...semua kini tinggal sebentuk gambar di layar ingatan...

Desember

Ini desember...
Tepat sebulan sebelum genap bertaut
Seandainya dulu semua masih berjanjut...
Ini desember...
Sebuah klimaks akan kerinduan pada sosok cinta
Seandainya kini masih bersama...
Ini desember...
Di desember ini...dingin terasa menusuk
Walau salju tak menghampiri kota ini...
Di desember ini...masih tetap menunggu
Walau tak pasti semua akan kembali...
Ini desember dan besok januari...
Semua hanya andai...semua Cuma mimpi...
Desember...sebulan lagi...
Seandainya itu bisa kembali lagi...

Tujuh Maaf

15/12/08
Ada tujuh maaf yg rencana ku ucap di hadapmu
Tujuh maaf yg mewakili lebih kurang 210 hari kubersama mu
Tujuh maaf dari terbitnya bulan pertama sampai bulan ke tujuh
Tujuh maaf dari satu hati yg punya tujuh harap atas mu
Tujuh maaf pula atas tujuh harap besar sepihak yg mungkin mencekikmu
Harusnya...sebenarnya...
Bukan hanya tujuh maaf yg kuucap...tapi berjuta-juta maaf atas segala aku di hadapmu...
Aku egois... Aku menyusahkan... Aku memaksa... Aku tak mampu mengerti... Aku tak memberi... Aku terlalu meminta... Aku yang menuntut...
Dan banyak lagi bentuk aku di hadapmu yg terlalu Aku...
Sementara kau mencoba melupakanku...
Di sini aku selalu mencoba mengenang mu...
Tujuh maaf ku entah akan kau lirik atau tidak
Tapi yg pasti tujuh maaf ini selalu ku coba untuk mengucapnya di hadap mu...
“maaf... maaf... maaf... maaf... maaf... maaf...maaf...”

Mengaduku pada Langit

Langit...jelaga kian menghalangi pandanganku atas mu
Belum lagi hujan bagai tombak menghujam langsung tanpa permisi padaku
Langit...aku semakin becek...
Terinjak, terguyur air hujan yang menambah perih semua luka yang tertinggal

Awan pun tak mau berbagi keindahanmu
Ingin dikuasainya sendiri birumu
Dan yang diberi padaku hanya hitam mu...
Berbisik angin meyakinkanku jika sekarang hanya dingin yang akan kau beri padaku

Banyak yang merayu
Agar ku mematikan harapku
Sebab kau telah meniup dingin untuk menghampiriku
Mereka berkata:
“apa yang bisa diharapkan dari sesuatu yang dingin?”
“Hai tanah!!bukan Cuma batu yang kini beku!!
Langitmu juga sudah tak lagi biru
Berhentilah menjadi tanah yang sendu!!!
Sebab semua hanya semu!!!”

Setengah mati ku tepis
Ocehan semua yang mengiris
Aku masih yakin...aku masih percaya...
Semi akan datang dan birumu bisa lagi ku lihat...

Kenapa?

Kenapa?
Kata yg slalu kugunakan u/ mngawaliu stiap Tanyaku tentangmu...
Knapa bgitu sulit bagiku untuk bisa mndengar suaramu?
Sementara orang lain dengan mudahnya membalas suaramu dengan suara mereka??
Kenapa?
Kata yg slalu terngiang dlm tnyaku akan ulahmu atasku...
Knapa aku tak bisa dgn mudah mmbca rangkaian Kata dr hatimu lewat jari2mu??
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Tuhan pun mungkin sudah bosan mendengar tanya itu dariku...
Namun, entah akan mu...
atau mungkin memang kau yg tak pernah menganggap tanya itu nyata
entah...sungguh entah aku tak tahu akan mu...