mungkin dia sedang tertidur lelap
atau menggigil kedinginan menunggu pagi
sementara manusia masih berlalu lalang
motor-motor masih bergaung ramai disengaja
ada yang sudah dibelai mimpi
ada yang masih tergelitik pikiran-pikiran ganjil
ada yang sementara resah mau makan apa besok pagi
ada yang mengatur rencana besok siapa giliran mati
ada yang berpikir besok akan menguliti harta siapa
sayup-sayup alunan piano
dari headset teman menemani
"sorry, I love you" tebakanku
entah kenapa harus meminta maaf karena mencintai
bukankah itu manusiawi?
atau mencintai sudah dianggap kesalahan fatal?
mencintai hanya drama yang diputar di tivi-tivi?
atau, mencintai sudah terlalu jauh dari arti murni
entah, hanya pikiran random dini hari
paranoid mengambil peran pada insomia kali ini
perut sakit masih menghantui saat bulu kuduk mulai berdiri
akhirnya, blog jadi pelarian efektif
mengatakan yang tak sempat terkatakan
menceritakan yang tak sempat terceritakan
setidaknya, rindu bisa ku nina-bobokkan malam ini
karena jika ia juga bangun,
dini hariku akan ramai lagi
bayangkan saja aku harus menimang-nimangnya
sementara ia meraung-meraungkan satu nama
dan aku harus mengganggu ketenteraman lini kala
atau pun wajah-wajah halaman berwarna biru
untuk menenangkannya
rindu tertidur lelap
setelah dongeng yang kau ceritakan lewat pesan singkat
dia senang, tersenyum dan terlelap
00:40 baterai melemah
sudah berjam-jam ku ajak netbook ini melayani hasratku
mulai dari meladeni hasrat otak kiri
sampai akhirnya membantuku menyiapkan persediaan obat
untuk rindu tentu
akhir-akhir ini sering sakau
dosisnya meningkat
ironisnya, tak kutemukan obat penenang lainnya yg ampuh
cuma satu itu, kau.
pikiran acak kali ini ke mana-mana
tapi tetap saja sebenarnya untuk satu nama
visual fisik menjadi syarat mutlak untuk kalian
sekalipun otak ditinggalkan di rumah
berbagai syarat kalian gaungkan
sehingga hidung-hidung pemilik modal
dengan tajamnya mencium peluang
dibangunlah hegemoni-hegemoni penipu
cantik adalah segala
rona merah wajah muluslah yang akan meraja
apa kabar tampilan biasa nan sederhana?
sudah matikah ditikam hasrat membuncah?
lalu, siapa yang berdiri paling depan mengkritik
bahwa Hawa kini jadi komoditi ?
coba tanya cermin
siapa yang menginginkan kulit mulus putih berdiri di sampingnya?
dan aku terjerembab dalam ranjau binal kalimatmu
mereka tetiba berlarian di otakku
membongkar susunan rapi etika dan moral
menodongku dengan hasrat melawan yg sungguh bukan tandinganmu
aku bukan melawan
sama sekali tidak
hanya melontarkan huruf-huruf yg sejak kemarin antri
menunggu giliran bercerita tentangmu
bagaimana aku bisa melawan mu?
sementara anak-anak otakku
sunggu terpenjara kekaguman
tak berbatas padamu
setidaknya biarkan saya menikmati kesakitan yg semakin melenakan ini.
Pergilah, tapaki hidupmu.
Aku bisa berdansa sendiri,
cukup dengan ingatan ku akan mu.
Itu saja cukup utk memberi makan rinduku.
Jangan khawatir, lagi pula kau pasti tidak khawatir.
Apa yg harus kau khawatirkan
jika aku tidak berjejak di kekhawatiranmu?
Belum lagi kepo akut yg sudah menggelayut,
menambah riang hasrat yg mencari koalisi.
Dan, konsistensi dirayu oleh tangan-tangan keraguan.
Mampuslah akal sehat, berjayalah hasrat yg sejak kemarin berlaku preman!
Dan asumsi2 berpenyakit mulai menjalar
menulari setiap sudut pandang rasional.
Selamat datang di dunia kesakitan (lagi).
Sudah 3 kali penghujung minggu, aku terus berkutat dengan kesakitan. Belum lagi rindu yg protes sebab tak ternafkahi. Dingin Kota Kecil yg tak dinyana berkolaborasi dengan ketakutan2 akan kehilangan. Lalu, aku harus sembunyi di mana? Saat segala tembok dan batas2 diruntuhkan baik2 oleh apa yg mereka sebut keberanian.walau sungguh, itu sepertinya palsu. Haruskah aku turut beramai-ramai menyaksikan subuh luruh dengan topeng tebal berlapiskan munafik? Atau kembali bercengkrama dengan mimpi yang malah lebih realistis dari realita yg ada? Mata mendukung opsi terakhir, setidaknya aku berlutut dan berterima kasih dulu pada DIA. Selebihnya, mari kita buat lebih personal saja.
Menyepi malam. Di tengah ramai aku tersapu.
Menyanyi lirih. Di tengah resah aku mengaduh.
Menerawang rindu yang terpekur lesu.
Sungguh menyesak nafas di telaga nelangsa.
Luruh segala deru dan luluh segala ego.
Menyepi malam. Di tengah ramai aku melagu
Menyanyi lirih. Di tengah resah aku meragu
Menerawang rindu yang terlalu jauh.
menghentak dinding-dinding rindu yang tak lagi bisa ku elak.
aku tergeletak dalam ketidakberdayaan. menengadah ke atas. buram.
nafasku berat. aku kalah telak.
Terlalu berat. Terlalu kuat.
Aku, Jatuh. Kali ini berantakan.
Pada siapa keluh ini tertuju? Pada waktu lagi?
terlalu lama! aku butuh instan!
Aku di kelilingi namamu. di setiap tempat, jarak dan masa, seolah kutemui kau.
Aku serasa berbincang dengan kau di setiap jejak ku
dan seolah kau membayang di setiap langkah-langkah yang terpahat di setiap hariku.
Di jam-jam Pagi, di sunyi malam, bahkan di linikala.
bagaimana aku bisa lari? jika ternyata kau tampak menggelayut pergelangan kaki ku?
bagaimana aku bisa lupa, jika kau berayun-ayun di setiap syaraf-syaraf sadarku?
dan bagaimana aku bisa berhenti, jika kau menyembunyikan rem yang seharusnya ada di sela-sela jemariku?
dan parahnya, aku menjadi lebih pencemburu dari biasanya,
menjadi lebih murka dari sebelumnya,
dan aku menjadi lebih tidak diriku sendiri pada akhirnya...
Seperti biasa, tantangannya cerca dari para skriptualis
Sungguh, merasa saja itu tidaklah cukup
Lalu keterbatasan angkat bicara
Mengangkat dagu, seolah-olah penguasa
Manuskrip kuno banyak bercerita tentang ini
Tak habis didebat anak cucu kelak
Tak hanya literatur
Tapi juga waktu dan latar bersekongkol mengaburkan makna
Satu-satu kubuka pintu setiap sudut yang di mana mungkin ada penanda
Tak bermaksud menjadi peneliti
Tapi sungguh, aku butuh penuntun
Tak banyak tuntut inginku
Hanya sekadar ingin memahami hasrat, rasa, atau
apapun itu yang tertanam di benak cucu Adam
Tak usah lagi susah-susah kau melepaskan tali itu
Memang tak kuikat erat sejak pertama
Karena kita memang sedang berdiri di tengah-tengah dunia
Sebelah nyata dan sebelah mimpi
Tubuhmu condong ke nyata
dan aku condong ke mimpi
satu menjadi begitu sulit
dan dua menjadi pilihan pahit
untukku, tentu saja.
Aku masih lebih suka bermimpi
sebut aku pemimpi,,
dan kau mengajarkan ku realistis
lalu kita, memang seharusnya tak menari
sebab Tarian ini hanya membuat kita tersesat dalam labirin
kau tahu jalan, dan aku...
Tersesat di antara mimpi dan nyata...
sebab pertemuan memang diciptakan berpasangan dengan perpisahan,
dan dari setiap awal pasti akan ada akhir..
lalu, aku bisa apa sementara aku memang bukan apa-apa..
dan akhirnya, inilah aku,,
meniti langkah kaku di tengah2 segala biru,,
seraya memohon restu pada Sang Pemilik Rindu..
Aku masih tetap merasa berpijak di tanah orang
Walau mulutku mengulum khas nya tanahku
Tetap saja hambar
Aku bukannya tak loyal
Aku hanya terlalu malas dengan itu melulu
Hanya menjunjung rasa selahir
Lalu yang lain dipandang tak sejajar
Aku bukannya ingin lupa tanah lahir
Hanya saja aku terlalu bosan
Untuk mengenang terus menerus
Aku cinta tanahku
Tapi, bukankah aku juga harus berkawan sampai ke ujung dunia?
andai kita bisa duduk berdua saja lalu saling bertanya
mungkin kita berada di permainan yang sama
strategi kita pun terlihat serupa
sayang, keadaan memposisikan kita adalah lawan
seandainya kita bisa duduk berdua saja dan bercerita
mungkin saja kita adalah kawan yang punya lawan yang sama....
menggantikan mataku yang malu-malu sejak tadi
masih tentang kau
berita senja tadi menguak luka
aku terbata-bata
seperti biasa mencoba biasa
bendera putih itu menunggu kuangkat
lunglai kaku lenganku
tertatih lemas langkahku
hujan di luar masih bersemangat
aku, benar-benar kalah telak....
tidak seperti bus yang akan berhenti di halte tertentu
taxi akan berhenti jika kau melambai terlebih dahulu
tidak seperti bus yang harga karcisnya tetap
dengan taxi kau akan membayar biaya sesuai perjalanan yang kau tempuh
dan sayangnya,, tidak semua taxi yang kau minta berhenti akan berhenti
sebab, tidak semua taxi yang lewat di hadapanmu itu kosong....
*dikutip dari sebuah film yang judulnya sedikit sulit untuk kupanggil kembali*
aku duduk di ruang tunggu ini lebih lama dari yang ku kira
dan selama itu pula
ku terus mencuri pandang sesering aku bisa
malang, terakhir kali aku menoleh ke sudut sana
kau tak lagi serius dengan kesendirian
duduk sesosok lembut mengajakmu berbincang
sesekali tawa renyah kalian bisa kutangkap
ah, aku kesal!
aku tak bisa membohongi rasa
penasaran yang berlebihan membuatku rela duduk berjam-jam
ternyata semua tak seindah lagu kemarin